Gagal Paham, KSPI Malah Salahkan Jokowi Gara-gara UMP DKI. Alasannya Bikin Gregetan!


Infoteratas.com - Sebagian besar demonstran yang menolak penetapan Upah Minimum Provinsi mengacu Peraturan Pemerintah 78/2015 Tentang Pengupahan sedang bergerak ke depan Istana Negara, Jakarta.

Deputi Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Muhammad Rusdi, mengatakan, alasan mereka bergerak ke Istana adalah karena Presiden Joko Widodo yang bertanggung jawab atas terbitnya PP 78/2015.

"Kami akan ke Istana Negara karena biang kerok dari upah murah Indonesia hari ini adalah PP 78 yang diputuskan Pak Jokowi pada akhir 2015," kata Rusdi di depan Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (10/11).

Kata dia, hampir semua kepala daerah di Indonesia termasuk Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan, menaikkan UMP berdasarkan PP yang tak sejalan dengan ketentuan UU 13/2013 tentang Ketenagakerjaan itu.

"Hampir semua pimpinan provinsi dan daerah dipaksa oleh Pak Jokowi, Kemendagri dan lainnya agar menetapkan upah berdasarkan PP 78. Padahal rekomendasi Komisi IX DPR RI adalah PP 78 melanggar UU Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003," jelasnya.

Dalam UU Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa penetapan UMP seharusnya diputuskan melalui mekanisme Dewan Pengupahan berdasarkan survei KHR (kebutuhan hidup rakyat) yang berjumlah 60 item. Inilah salah satu hal yang ditiadakan dalam PP 78/2015.

"Pelanggaran lain adalah hak berunding dari serikat buruh yang diwakili oleh Dewan Pengupahan unsur buruh tidak lagi berfungsi, tidak lagi digunakan. PP 78/2015 hanya menghitung berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi," jelas Rusdi.

Menurut dia, Presiden Jokowi telah melakukan tindakan yang tidak mentaati UU.

"Karenanya hari ini kami memberi gelar kepada Pak Jokowi, beliau adalah Bapak Upah Murah Indonesia. Karena telah menetapkan PP 78/2015, akibatnya daya beli rontok dan jatuh. Ini presiden yang tidak pro kaum buruh," kata dia.

Tak hanya itu, Rusdi menganggap Jokowi sudah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menurunkan daya beli mayoritas rakyat, termasuk kelompok buruh.

"Upah dibatasi hanya naik 8 sampai 10 persen tapi harga listrik naik 130 persen. Inilah yang menyebabkan daya beli hancur. Upah buruh tak sanggup lagi untuk membeli, upah buruh tidak sanggup lagi mendorong UKM menjadi maju karena hanya cukup untuk kebutuhan anak sekolah, makan, minum, dan kebutuhan rumah," tuturnya.

Menaker: PP Pengupahan Justru Menguntungkan Buruh

Hal berbeda disampaikan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri. Ia justru menilai PP ini akan menguntungkan kalangan buruh.

Dia mengatakan dari 28 provinsi yang telah melaporkan penetapan upah minimum provinsi (UMP) 2016 kepada pemerintah, 15 provinsi di antaranya belum mengikuti sistem formula dalam PP Pengupahan.

Hasilnya, kenaikan upah minimum di daerah tersebut relatif kecil, berkisar antara 6-9 persen. Sementara jika menggunakan formula dalam PP Pengupahan, kenaikan upah minimum tahun 2016 mencapai 11,5 persen, sesuai dengan data inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional dari Badan Pusat Statistik (BPS).

"Jelas bahwa PP 78/2015 tentang Pengupahan itu sangat menguntungkan buruh. Faktanya, dari semua provinsi yang melaporkan penetapan UMP 2016, yang memakai PP Pengupahan kenaikan UMP-nya mencapai 11,5 persen sesuai data inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional dari BPS. Adapun provinsi yang tidak menggunakan PP Pengupahan, kenaikan UMP-nya berkisar 6-9 persen. Jadi malah lebih kecil kenaikannya kalau tidak pakai PP Pengupahan", ujarnya di Jakarta, Rabu (25/11/2015).

Oleh karena itu, kata Hanif, tidak cukup alasan bagi kalangan buruh untuk tidak menerima PP Pengupahan yang jelas menguntungkan buruh, kecuali jika ada tendensi lain yang bersifat non-buruh.

Hanif mengungkapkan PP Pengupahan bukan hanya menguntungkan buruh, tapi juga menguntungkan mereka yang belum bekerja dan kalangan dunia usaha.

"Semuanya diuntungkan dengan PP Pengupahan ini. Buruh diuntungkan karena upah pasti naik setiap tahun dengan besaran kenaikan yang sangat signifikan. Dunia usaha juga diuntungkan karena ada kepastian menyangkut besaran kenaikan upah setiap tahun, sehingga dunia usaha bisa berkembang dan memperbanyak lapangan kerja. Kalangan pengangguran yang 7,5 juta orang atau mereka yang belum bekerja juga diuntungkan karena peluang kerja makin banyak, sehingga mereka bisa masuk ke pasar kerja dan mendapat pekerjaan untuk penghidupan mereka," dia menjelaskan. 


Menurut Hanif, di luar itu juga masih banyak keuntungan yang didapat buruh dengan adanya PP Pengupahan. Misalnya, diatur juga mengenai pendapatan non-upah seperti bonus, THR, uang service dan lain-lain yang menjadi hak buruh. Buruh yang berhalangan, baik karena sakit atau menjalankan tugas serikat pekerja, juga wajib dibayar.

Struktur dan skala upah di mana pengupahan mempertimbangkan masa kerja, golongan/jabatan, pendidikan, prestasi dan lain-lain juga wajib diterapkan oleh perusahaan, sehingga upah buruh bisa adil, proporsional, dan layak.

Perusahaan yang tidak menjalankan struktur dan skala upah diancam sanksi sesuai UU 13/2003 dan ditambah sanksi administratif dalam PP Pengupahan, seperti sanksi pemberhentian sebagian atau seluruh proses produksi hingga pembekuan perusahaan.

"Banyak sekali keuntungan yang diperoleh buruh dengan PP Pengupahan. Saya gagal paham kalau masih ada yang menolak, kecuali karena ada kepentingan yang bersifat non-buruh", kata dia.(Rmol/liputan6.com)


from Infoteratas http://ift.tt/2mlDwOw

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to "Gagal Paham, KSPI Malah Salahkan Jokowi Gara-gara UMP DKI. Alasannya Bikin Gregetan!"

Post a Comment