Begini Cara Shinta Merawat Adat Dayak dan Hutan Kalimantan
Begini Cara Shinta Merawat Adat Dayak dan Hutan Kalimantan
Denpasar - Emmanuela Shinta dikenal sebagai sosok feminis muda yang kerap menyuarakan suara kaum muda dari masyarakat adat. Sebagai gadis Dayak Maanyan, Shinta bersama rekan mudanya kerap mendokumentasikan kehidupan masyarakat adat dayak di Kalimantan Tengah.
"Memang saya sudah aktif di budaya sejak kecil, tapi ternyata banyak permasalahan yang terjadi di sekeliling saya dan itu berurusan dengan keberadaan masyarakat adat dayak," kata Shinta kepada detikcom di kawasan Ubud, Gianyar, Bali, Kamis (26/10/2017).
Nama gadis berusia 25 tahun itu mencuat ketika salah satu stasiun berita di Singapura membuat dokumenter berjudul Heart of the Haze. Film itu menampilkan Shinta ketika berjuang bersama relawan pemadam kebakaran di tengah hutan.
"Kita masuk ke kebakaran hutan di 2015 yang benar-benar mega haze. Kebakaran hutan hebat itu terjadi banyak orang di Palangkaraya itu kesulitan bernafas karena starving for oxygen. Lalu ada pilihan, mau tetap jadi korban atau mau jadi survivor melakukan sesuatu," ujar anak bungsu dari 6 bersaudara itu.
Shinta memilih untuk menjadi survivor, bersama beberapa rekannya, ia mengumpulkan uang untuk memasak dan makanannya diberikan kepada tenaga relawan yang memadamkan api di hutan. Relawan-relawan itu tidak lain masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan yang terbakar.
"Kami memasak makanan untuk tim pemadam, mereka tanpa boots, tanpa sarung tangan, tanpa perlengkapan yang memadai berupaya memadamkan kebakaran hutan. Jadi kami memasak, kami gerak," ucap putri dari seorang guru SMP ini.
Tak berhenti di situ, Shinta lalu memulai kampanye orang muda berdampak di Kalimantan. Dengan hadir sebagai pembicara pemberdayaan orang muda, Shinta kerap diundang berbagai acara diskusi dan seminar, mulai tingkat nasional hingga internasional.
"Kemudian saya mendirikan Yayasan Ranu Welum Media yang sebelumnya adalah komunitas pembuat film. Kadang orang muda itu berpikirnya kalau urusan budaya itu tokoh adat deh, kalau lingkungan itu urusan NGO. Bukan, itu urusan kita, kita tinggal dan hidup di sini," ucap Shinta.
Oleh karena itu, melalui yayasannya, Shinta kerap membuat sejumlah video dokumenter kehidupan masyarakat adat Dayak di pedalaman. Menjelajahi hutan, menyusuri sungai hingga berjalan kaki belasan kilometer dilakukan Shinta demi mendapatkan dokumentasi yang menyuarakan hak-hak masyarakat adat Dayak.
"Saya lihat ada orangutan yang kurus banget, ada juga yang kulitnya terbakar dan ada yang ketutupan abu dari kebakaran hutan. Waktu itu 2015, jadi saya bersama warga bantu evakuasi. Saya selalu dorong orang-orang muda untuk berani bicara tentang identitas mereka dan jangan malu mengakui kamu dari suku apa," ungkap Shinta.
Kiprah Shinta membuatnya mendunia, upayanya mendorong kaum muda untuk berdampak positif melalui media dan jurnilsme menghantarkannya ke America Culture Centre. Di Negeri Paman Sam pada 2016 itu, Shinta membagikan pengalamannya sebagai seorang Dayak yang berjuang demi hak asasi manusia dan lingkungan.
Film dokumenter terakhir yang ia buat adalah When Women Fight, berkisah tentang krisis kebakaran hutan di Palangkaraya pada 2015 lalu. Film ini telah diputar di ASEAN People's Forum, Freedom Film Festival dan Ubud Writer and Reader Festival 2016.
"Semua adalah tentang kesatuan. Justru tantangan kita di situ, karena kita berbeda, diverse, bhinneka, maka kita mengusahakan yang namanya persatuan," pungkas Shinta.
from Berita Online Terbaru http://ift.tt/2hcHJir
"Kemudian saya mendirikan Yayasan Ranu Welum Media yang sebelumnya adalah komunitas pembuat film. Kadang orang muda itu berpikirnya kalau urusan budaya itu tokoh adat deh, kalau lingkungan itu urusan NGO. Bukan, itu urusan kita, kita tinggal dan hidup di sini," ucap Shinta.
Oleh karena itu, melalui yayasannya, Shinta kerap membuat sejumlah video dokumenter kehidupan masyarakat adat Dayak di pedalaman. Menjelajahi hutan, menyusuri sungai hingga berjalan kaki belasan kilometer dilakukan Shinta demi mendapatkan dokumentasi yang menyuarakan hak-hak masyarakat adat Dayak.
"Saya lihat ada orangutan yang kurus banget, ada juga yang kulitnya terbakar dan ada yang ketutupan abu dari kebakaran hutan. Waktu itu 2015, jadi saya bersama warga bantu evakuasi. Saya selalu dorong orang-orang muda untuk berani bicara tentang identitas mereka dan jangan malu mengakui kamu dari suku apa," ungkap Shinta.
Kiprah Shinta membuatnya mendunia, upayanya mendorong kaum muda untuk berdampak positif melalui media dan jurnilsme menghantarkannya ke America Culture Centre. Di Negeri Paman Sam pada 2016 itu, Shinta membagikan pengalamannya sebagai seorang Dayak yang berjuang demi hak asasi manusia dan lingkungan.
Film dokumenter terakhir yang ia buat adalah When Women Fight, berkisah tentang krisis kebakaran hutan di Palangkaraya pada 2015 lalu. Film ini telah diputar di ASEAN People's Forum, Freedom Film Festival dan Ubud Writer and Reader Festival 2016.
"Semua adalah tentang kesatuan. Justru tantangan kita di situ, karena kita berbeda, diverse, bhinneka, maka kita mengusahakan yang namanya persatuan," pungkas Shinta.
from Berita Online Terbaru http://ift.tt/2hcHJir
0 Response to "Begini Cara Shinta Merawat Adat Dayak dan Hutan Kalimantan"
Post a Comment